Bupati Bojonegoro bersama 4 pelajar yang akan berangkat ke Jepang (Foto/SuyotoMedia center)

Jakartasatu.com – Bupati Bojonegoro Suyoto atau yang akrab disapa Kang Yoto begitu dipercaya publik di Bojonegoro. Demikian salah satu kesimpulan hasil survei Global Base Review.

Direktur Eksekutif Global Base Review (GBR) Rusdianto Samawa menjelaskan survei mengenai Kang Yoto dilakukan dalam empat hal yaitu kinerja, toleransi beragama, elektabilitas dan popularitas serta dialog jum’at atau musyawarah (leadership). Survei dilakukan selama 7 hari dengan 100 repsponden yang mewakili semua kelompok kepentingan di Bojonegoro.

“Sisi lain, kualitas kejujuran dan popularitas kang Yoto di Bojonegoro sangat apik dan bisa di buktikan. Bahwa dari sekian desa, kecamatan dan puluhan orang yang di interview,” katanya di Jakarta, Selasa 12 April 2016.

Rusdianto melanjutkan Pertanyaan seputar empat hal diatas, disusun berdasarkan system writer input atas peristiwa atau realitas yang berkembang dalam masyarakat. Metode ini untuk terapan wilayah kajian sosial politik untuk mengungkapkan fenomena-fenomena lingkungan, masyarakat dan sosial politik berdasarkan peristiwa atau akibat sebuah kebijakan yang dilakukan oleh pihak manapun.

Masyarakat sangat memuji kang Yoto, menurut masyarakat Suyoto sangat baik, pinter, amanah, dan sering blusukan. Dapat kita lihat berapa porsentase kesukaan masyarakat terhadap kang Yoto dari kategori Kinerja (bekerja, blusukan) 37,04%, Toleransi Beragama 24,01%., Elektabilitas (Popularitas) 18,02%, dan Leadershif (Dialog Jum’at / Musyawarah) 10,93%.
“Dengan hasil survey diatas, kita bisa melihat indikator keunggulan Kang Yoto atau Suyoto Bojonegoro, yakni Kinerja (bekerja & blusukan) 37,04%,” sambung Rusdianto.

Indikator mendapatkan porsentase ini berasal dari responden yang menetap di masing-masing seluruh wilayah Bojonegoro mencakup kepala desa, kepala dusun, RT/RW. Toleransi Beragama 24,01%, angka tersebut bersumber dari para pendeta di Bojonegoro (Gereja Bethani, Panti Kusta, Gereja PGI), umat nasrani, Budha (biksu), Konghucu, Protestan, Katolik, dan Islam (Kiyai). Elektabilitas (Popularitas & Anti Korupsi) 18,02%, respondennya berasal dari anak-anak TK, Ibu-ibu Rumah Tangga sejumlah 50 desa atau kelurahan, Siswa-siswa SMA, MA, dan Pesantren.

Tingkat kepemimpinan dan kejujuran 10,93%, peringkat ini semata-mata dari responden dengan aspek penilaian beradasarkan dari pendapat dan testimoni baik dari kalangan PNS, politisi, Pejabat DPRD, Tokoh masyarakat, LSM Anti Korupsi, Mahasiswa, Masyarakat dan kru perusahaan exxon mobile.

“Hasil survey diatas menujukkan kepuasan publik terhadap kinerja kang Yoto menjadi Bupati sangat puas dan mengakui Kang Yoto lebih cocok memimpin Indonesia atau ibu kota Negara sehingga rakyat lebih melihat objektifitas dari kinerjanya,” celoteh Rusdianto.

Masih kata Rusdianto, tentu harapan ini merupakan loncatan masa depan untuk Indonesia. Bojonegoro awalnya daerah paling miskin bahkan sangat endemic yang kemudian mengalami transformasi tercepat dengan peningkatan pendapatan ekonomi dan kesejahteraan yang bagus bagi masyarakatnya.

Apabila di survey tentang tingkat kebahagiaan, maka sudah pasti tingkat kebahagiaan masyarakat Bojonegoro sangat tinggi karena di dorong oleh kesejahteraan dan hidup yang sehat produktif.

Kang Yoto sudah mencapai posisi kepercayaan publik sangat tinggi sehingga menjadi idola masyarakat. Hasil survey atau penelitian ini merupakan perwakili public untuk mendorong Kang Yoto untuk melirik daerah yang lebih bersipat plural dan majemuk, seperti Jakarta. Kenapa demikian?, karena dalam hal toleransi belum signifikan untuk saling menghargai dan mendamaikan. Maka dengan modal toleransi beragama 24,01% yang dimiliki Kang Yoto harus menjadi bahan renungan dan kajian untuk proaktif mendamaikan pola toleransi beragama di wilayah DKI Jakarta.

“Tidak salah apabila Kang Yoto mendapat apresiasi dari berbagai lintas pesantren, tokoh agama, masyarakat dan pemuda untuk memimpin DKI Jakarta atau Indonesia. masalah yang di hadapi Jakarta lebih mudah di atasi daripada masalah yang di hadapi Bojonegoro,” cetus Rusdianto.

Perbandingan masalah tersebut sambung Rusdianto adalah pertama; lebih mudah menata banjir, macet, birokrasi dan pendidikan di Jakarta di bandingkan dengan Bojonegoro karena infrastruktur sudah siap dan tinggal di jalankan, tentu dengan memperkuat Approach (pendekatan) bersama masyarakat. Kedua; Bojonegoro lebih susah dan sangat sulit tangani banjir, macet, birokrasi dan pendidikan. Kesulitan itu ditemukan karena banjir Begawan Solo yang setiap saat bahkan setiap minggu. Lalu macet, bojonegoro merupakan arus pertemuan seluruh kendaraan baik dari utara, selatan dan barat sehingga membutuhkan jalan-jalan alternatif.

Kemudian aspek birokrasi disebabkan lebih karena budaya patron yang sulit untuk di dialogkan sehingga tetapi selama kepemimpinan Kang Yoto menjadi bagus dan patron itu hilang seketika dalam 8 bulan lamanya. Terakhir pendidikan dengan tingkat kesulitasn dan kemiskinan Bojonegoro lama sehingga program pemerintah dalam aspek pendidikan member beasiswa dan gaji siswa 2 juta perbulan.

Dengan perbandingan kesulitan itu maka DKI Jakarta lebih mudah untuk di tata dan dirapikan dengan pendekatan kemanusiaan, Welas Asih, dan harmonisasi. Untuk membuktikan itu, sangat realistis dari berbagai data hasil survey diatas. melihat konteks Jakarta dan Indonesia sangat plural dan kategori penganut agama, keyakinan dan perbedaan ideologi. Maka Kang Yoto menjadi sala satu solusi untuk menata harmonisasi lingkungan masyarakat Jakarta dengan berbagai latar belakang masyarakat.

“Mengapa harus Kang Yoto karena DKI Jakarta membutuhkan sentuhan orang yang benar-benar mampu memberikan aspek spritualitas, kesejahteraan, mengatasi banjir, mengurai kemacetan, ekonomi dan investasi daerah,” tandasnya. (Ttg)