JAKARTASATU – UU Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty sudah efektif berlaku sejak awal bulan Juli lalu dan terus bergulir sampai sekarang. Dua bulan berjalan, mimpi-mimpi indah dan jargon heroik Tax Amnesty yang katanya dulu akan menarik 4000T uang parkir diluar negeri kini berubah jadi mimpi buruk dan jadi jargon teror.

Tax Amnesty kini jadi mimpi buruk bagi rakyat dan bukan mimpi buruk bagi negara tax heaven seperti Singapore. Tax Amnesty juga jadi jargon teror bagi rakyat dan bukan jargon heroik seakan bangsa ini mampu menakuti negara tax heaven karena dananya akan berpindah ke Indonesia hanya bermodal UU TA yang sesungguhnya dari awal sudah banyak pihak yang menolak.

Mimpi indah pemerintah yang merasa akan mampu menarik uang parkir diluar, kini beralih jadi menyasar rakyatnya sendiri yang sedang kesulitan pertumbuhan ekonomi dan bahkan bekerja keras untuk sekedar mampu bertahan ditengah ketidak pastian yang ada. Tax Amnesty yang dari awal digembar gemborkan akan menargetkan uang orang Indonesia yang parkir diluar negeri kini berubah. Presiden bahkan dalam beberapa kali pidatonya selalu mengatakan bahwa sudah mengantongi nama, alamat dan tempat penyimpanan dana diluar kini tak mampu menarik dana tersebut. Presiden bahkan seperti mengancam dan menakut nakuti secara halus para pemilik uang tersebut, tapi presiden sepertinya lupa bahwa kepastian politik dan kepercayaan pada pemerintah adalah modal utama arus modal masuk, dan inilah yang tidak dimiliki oleh pemerintah.

Setelah gagal menarik uang dari luar, sekarang pemerintah menjadikan rakyatnya jadi target Tax Amnesty. Pemerintah menjadikan aset sebagai sesuatu yang harus dipajak berganda. Aset rakyat harus diperas lagi untuk pemasukan negara. Pemerintah melakukan teror psikologis pada rakyatnya yang memiliki aset. <b>Masyarakat jadi korban teror oleh pemerintah dan menjadi resah takut dituduh macam-macam bahkan takut hartanya dirampas</b>. Aset yang dengan susah payah didapat rakyat melalui sebuah proses kehidupan yang tidak mudah, kini pemerintah merasa berhak atas aset tersebut dan meminta bagian dari aset tersebut atas nama Tax Amnesty. Ini kejahatan oleh rejim kepada rakyat.

Aset yang didapat melalui proses jual beli, yang mana rakyat sudah bayar Pajak saat membeli aset tersebut dan membayar kewajiban pajak tahunan atas aset tersebut kini harus membayar lagi pajak preman tax amnesty andai aset tersebut belum dilaporkan dalam SPT tahunan. Memangnya semua orang punya NPWP? bukankah PBB tanah dan rumah, PKB kendaraan serta pajak-pajak lain itu adalah bentuk pelaporan harta kepada negara? Mengapa sekarang jadi masalah dan dengan akal-akalan tax amnesty seolah rakyat yang menyembunyikan asetnya? Padahal sistem pemerintah ini yang buruk dalam mengelola pajak tapi rakyat yang diteror seolah menyembunyikan asetnya.

Lazimnya pajak itu harusnya adalah untuk produktifitas, untuk hasil atau pendapatan bukan kepada aset. Lama-lama sendok garpu didapur juga harus masuk laporan tax amnesty. Yang paling parah, bisa jadi isi septick tank juga harus lapor pajak karena dianggab aset oleh rejim ini.

Pemerintah mestinya sadar diri belum mampu meningkatkan taraf hidup dan pendapatan masyarakat. Dengan demikian, rakyat tidak seharusnya dibebani dengan pungutan macam-macam dan pajak. Pemerintah bahkan jika perlu membebaskan pajak untuk satu tahun menjadi insentif produktifitas bagi rakyat seperti PBB dan PKB. Tidak elok rakyat harus dipaksa menanggung beban biaya pemerintah untuk menindas rakyatnya (pembayar pajak). Terlebih menggunakan teror terselubung lewat UU Tax Amnesty. Kalau awalnya itu untuk memaksa uang diluar untuk masuk sebaiknya pemerintah fokus disitu bukan malah menjadikan rakyatnya sebagai korban kebijakan.

Ironi hitam bangsa ini ketika rejim menggunakan cara-cara berbau teror psikologis untuk menarik dana rakyat membiayai pemerintah yang tidak punya kemampuan bangkit.

Jakarta, 26 Agustus 2016